Bagaimana keberhasilan artis 90an? Sesekali, suatu fenomena budaya merubah bagaimana satu generasi dikenang dalam histori budaya pop. Semua mood serta kasih sayang satu bangsa bisa merubah fenomena ini, umumnya ditambah dengan selera musik satu dekade, pilihan film, serta tehnologi. Kembali ke tiap-tiap dekade tunggal dalam era paling akhir, 70an di kenal untuk generasi bunga, 80an di kenal untuk masa politik pembebasan, 90an mengacu pada pemberontakan serta grunge, 2000an seluruhnya perihal go green
Oleh karena itu, jika kita bicara perihal artis 90an di Indonesia, kita bicara perihal politik pembebasan, atau jadi terpolitisasi? Satu dekade pergantian besar tengah berlangsung dalam pergolakan dunia, th. 1990-an kita lihat pergolakan dramatis di seluruhnya bagian, dari dominasi budaya meningkatnya revolusi grunge, tehnologi xeroxisasi Iran dikenalkan dengan jalan baru oleh internet.
Terlebih, ada pergeseran batas geopolitik menyusul pembubaran Uni Soviet, pecahnya Federasi Yugoslavia, perang saudara yang brutal mengamuk di semua Afrika, serta kasus-kasus yang menyedot Indonesia dalam sengketa internasional, seperti kapal “Lithuania Expresso” yang berbuntut pada pembebasan Timor Timur.
Barangkali diatas seluruhnya, kehancuran tidak terbayangkan disebabkan krisis AIDS terlampau lama diabaikan, saat kebanyakan orang terperanjat bahwasanya virus itu dapat menyerang pujaan yang mereka sayangi, dari Freddy Mercuri sampai Magic Johnson.
Hari ini, di masa 2000, seluruhnya makin terang. Seluruhnya bukan hanya seakan-akan bahwasanya fenomena budaya pop yaitu musuh berbarengan dari beberapa underground Saat memerhatikan masa 2000, kita dapat bicara bahwasanya underground sebagai musuh berbarengan menukar kultur pop yang manis. Underground lebih ngepop dari pop lantaran gaungnya tidak dari apa yang di tawarkan label besar. Tak tahu dari sepatu hingga musik, dari fashion hingga film, yang berkuasa sejatinya yaitu gerakan kultus yang namanya subkultur.
Bila mengacu pada nama Artis, siapa artis yang paling populer? Maka, kita dapat menyodorkan nama Wiji Thukul di banding Rano Karno, Mukti Mukti di banding Iwan Fals, serta Homogenic dari pada Krakatau Band, lantaran yang pertama mempunyai kesan rebel, yang terakhir dimaksud lebih ngepop, oleh karena itu tak istimewa. Tersebut benak beberapa pendengar muda dari masa 90an, serta saat ini di masa 2000 mereka tersesat telinganya. Rasakan! Serba Tak Yakin Diri
Alih-alih pergeseran budaya yang luas yang menuding USA-isme (seperti film, musik, atau tv), gw pikir satu atau dua dekade paling akhir bakal diingat untuk budaya untuk gabungan bakal beberapa hal serta langkah paling baik untuk jadi rebel dalam taraf global, dengan percaya diri (sekalian dengan bodoh). Dari pada mengasumsikan semua suatu hal yang kita bakal ingat datang dari pusat reaktor budaya pop Amerika di Hollywood, Jepang, India, serta Eropa Di Indonesia, segi artistik itu mesti diserap oleh mereka yang mengakui pakar, dibanding yang market.
Ini memberikan inferioritas akut dalam dunia pujaan di Indonesia. Yang market bukan hanya raja, yang underground jadi dewa. Dengan cara psikis tunjukkan bangsa ini tak sempat siap terima ‘persaingan’ pada mereka yang mempunyai peluang disenangi berbarengan sama lantaran ngepop serta manis. Beberapa orang yang tidak berhasil jadi pujaan itu memanglah disayang-sayang oleh beberapa ‘ahli’ untuk berikan peluang supaya mereka hidup serta memaksakan rencana musiknya ‘yang gagal’ lantaran terlampau kontemporer.
Telinga manusia tak dapat dimanipulasi, namun Indonesia terlampau takut untuk berlaku, terlampau inferior untuk melakukan tindakan, hingga untuk sebatas anggota tahu mutunya, orang Indonesia butuh berbasa-basi serta itu tak perlu, lantaran histori seni bangsa ini terlampau wangi untuk dikesampingkan. Borobudur, serat-serat, baju, serta sejenisnya tunjukkan bahwasanya orang Indonesia yaitu big player dalam usaha keartisan. Serta, kita tak sempat kalah.
Kenapa ada arti “go internasional”? Lantaran ada bajingan yang membawa pasar asing ke Indonesia. Saat pasar keartisan di Indonesia kian lebih cukup untuk memuaskan bangsa ini dengan cara mandiri. Sudah pasti, apabila impor asing dihentikan beberapa telinga dari masa 90an tak lagi sempat dapat mendengar TLC, Busta Ryhmes, Kurt Cobain, Lean Rymes, Vince Gill, dst.
Tetapi, akhirnya bangsa ini jadi inferior dengan pencapaian asing, yang ajaibnya pihak asing yang disebut berbondong-bondong menggunakan gamelan asal Indonesia untuk melanjutkan dominasi mereka.
Pihak produser berasumsi bahwasanya perang kultural sudah dimenangkan dengan cara sepihak oleh USA – Eropa. Yang sejatinya berlangsung, kita buka pasar mereka, sesaat mereka tak lakukan sebaliknya. Perang apaan bila bertepuk samping tangan? Saat pemusik lokal membawa nada-nada Indonesia ke panggung dunia segera hit, seumpama Anggun dengan Snow of Sahara, berarti persoalan perang budaya itu konyol serta diada-adakan.
Segi inferioritas itu bikin beberapa artis serta pemusik masa 90an banting setir lari ke segi religi di masa 2000an untuk pelampung penyelamat, fenomena Fatin di X Factor adalah topping yang baik. Lantaran, bukan hanya mereka terasa shaleh, mereka terasa pasar tidak mau lihat artis lokal glamour yang terlihat pada masa 90an, takut dihakimi dengan cara agama, di waktu yang sama artis-artis bule masa 2000 seperti Katy Pery merajai Indonesia, tersebut perasaan inferior yang aneh.
Pasar Indonesia tak yakin diri, bikin artis 90an tak yakin diri di masa 2000an lantaran beberapa produsernya tak yakin diri bahwasanya kekuasaan mereka pada dunia sekuler di Indonesia tetap mencengkeram kuat. Cuma segelintir orang yang dapat memaksakan satu rencana antidepency pada masa keagaamaan didunia pop Indonesia, Cherrybelle serta JKT48 untuk misalnya. 90-an, Cermin Manis yang Lenyap
Budaya Pop Jepang barangkali yaitu misal paling baik dari integrasi perlawanan yang melawan balik ke dalam ulu hati pop Amerika. Serta, nyaris jadi hanya satu misal yaitu Hongkong. Th. 90an, mereka mengekspor Jackie Chan serta Andi Lau ke umum dunia, th. 2000an tetap Jackie Chan serta Andy Lau dengan lebih masak.
Cina serta budaya Hong Kong sudah lama adalah aspek utama dalam bagaimana film-film Amerika di buat. Sepanjang beberapa ribu th. sebelum saat Hollywood didirikan, Cina barangkali yaitu eksportir paling produktif dampak budaya. Hari ini, dampak yang nampaknya dibayangi oleh sikap politik mereka, namun sama utamanya seperti umum.
Bila lihat tiap-tiap adegan pertarungan tunggal dalam suatu film tindakan Amerika bakal terkena tebak bahwasanya mereka memerlukan style Timur, yaitu film tindakan Hong Kong. Tetapi, bukan hanya masalah bak bik buk lagi, saat ini inspirasi Timur diserap oleh USA, terhitung film pemenang penghargaan Oscar seperti “The Departed” (diadaptasi dari film Hong Kong, “Infernal Affairs”).
Di Indonesia, artis 90an gw meyakini hebat dalam bakat, baik akting ataupun nada. Dari Roy Marteen, Ray Sahetapy, Rano Karno, Trie Utami, Anggun, Yana Yulio yaitu talenta kelas dunia. Mereka sukses membuahkan cermin yang bikin siapa juga muka di Indonesia jadi cantik. Mereka berikan rasa bangga, berikan suatu hal pada pasar, sebelum saat pada akhirnya dihina dina oleh budaya underground yang impor serta dimutilasi habis-habisan lantaran dikira tak agamis. Pada akhirnya, selesai telah seluruhnya masa musik Indonesia, selesai di masa 90an untuk masuk ke dalam dunia serba bingung, serba tak pasti, serba tak mempunyai pilihan. Cuma lantaran tak di jual ke negeri asing. Anjuran gw, tontonlah film “the Raid”, serta definisikan kembali bakat-bakat orang Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar